BERKURBAN IBADAH KUALITAS Oleh : Ust. RIBUT NUR HUDA, S.Hum, M.Ed Mustasyar PCINU SUDAN

 Hari raya Idul Adha yang umum disebut Hari Raya Kurban merupakan hari persembahan kepada Allah. Kata “Kurban” diserap dari bahasa Arab “Qurban” yang artinya dekat sebagaimana hewan kurban dipersembahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Di hari raya ini, umat Islam hukumnya sunnah muakkad melakukan penyembelihan hewan kurban yang berguna tidak hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah tetapi juga menggembirakan kaum fakir di hari raya Adha, Selain hukumnya sunnah muaakkad, berkurban merupakan ibadah kualitas yang erat kaitannya dengan syukur nikmat. Dalam surat Al-Kautsar disebutkan bahwa Allah telah memberikan nikmat yang banyak kepada hamba dan seyogyanya hamba itu mensyukurinya dengan Shalat Ied dan berbagi nikmat dengan berkurban. Prinsip dalam berbagi, memberi dan berkurban adalah kualitasnya bukan kuantitasnya. Shalat dan berkurban yang disebutkan dalam surat Al-Kaustar.

adalah sama-sama ibadah kualitas, berbeda misalnya dengan membaca shalawat dan memerdekakan budak yang merupakan ibadah kuantitas. Dalam Al-Qur’an disebut “mendirikan” shalat, bukan memperbanyak shalat. Adapun membaca shalawat, di berbagai riwayat disebutkan jumlah atau banyaknya shalawat yang dibaca

Dikutip oleh Imam Al-Mawardi dalam kitab Al-Hawi Al-Kabir bahwa Imam Syafi’i menyatakan; memperbanyak nilai hewan kurban lebih disenangi dari memperbanyak jumlah. Hal ini sebagai bentuk mengagungkan syiar Idul Adha, disamping tujuan sosial berkurban adalah menyenangkan. Sebagaimana anjuran dalam berkurban, tidak hanya melihat kondisi hewannya yang sehat, tetapi juga gemuk, segar dan mantap dagingnya. Banyaknya daging lebih utama dibanding banyaknya gajih.

Imam Nawawi menyebut perkataan bahwa menyembelih hewan yang gemuk hukumnya makruh karena menyerupai Yahudi adalah perkataan yang batil atau tidak ada dasarnya sama sekali. Jumhur Ulama; Hanafi, Syafi’i dan Hambali menilai kualitas hewan kurban dilihat dari kapasitas dagingnya sehingga urutan hewan yang paling utama dikurbankan adalah Onta, Sapi baru kemudian kambing. Berbeda dengan Malikiyah menilai kualitas hewan kurban dari kelezatan dagingnya sehingga urutan keutamaannya dimulai dari kambing, sapi baru kemudian onta. Seperti di negara Sudan yang menganut madzhab Maliki, hampir setiap rumah merayakan Idul Adha dengan menyembelih kambing. Dari perbandingan harga, daging kambing lebih mahal daripada daging sapi karena daging kambing dianggap lebih lezat. Syari’at penyembelihan hewan kurban zaman Nabi Ibrahim as dan berlaku sampai zaman Nabi Muhammad Saw tidak hanya menunjukkan kepatuhan seorang hamba, melainkan juga menunjukkan karekter Agung dan maqom seorang Rasul dalam kesenangannya membagi nikmat atau apa yang dimiliki. Dalam kitab Tafsir Jalalain, diriwayatkan bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah makan kecuali bersama tamu. Jika tidak ada tamu, Nabi Ibarhim mencari orang di jalan atau diberbagai tempat untuk diajak makan. Rasa empati seorang Nabi kepada umatnya mengungguli kedermawanan orang-orang biasa atau kezuhudan orang-orang hebat. Di zaman sekarang ini, syariat kurban hendaknya diambil hikmahnya untuk meningkatkan kedermawanan dan mengurangi kesenjangan antara si kaya dengan si miskin. Jika berkurban mengajarkan ibadah kualitas, maka sumber datangnya kualitas dalam islam adalah ilmu. Dermawan ilmu jauh lebih utama dibanding dermawan materi. Jika terbiasa dengan “memahalkan” ilmu, maka generasi umat Islam akan memandang mahalnya ilmu dengan mahalnya materi. Dari sinilah merosotnya semangat pengorbanan para pembawa risalah Nabi Muhammad Saw. Wal’iyadzubillah