HIKMAH MENGERTI PERBEDAAN PENDAPAT

oleh : ust. Ribut Nur Huda, S.Hum., M.Pd., MA. (Mustasyar PCINU Sudan)

Manusia adalah jenis kumpulan paling sempurna dengan persamaan serta  perbedaan didalamnya. Masing-masing diberi potensi baik dan buruk, serta kodrat yang sama yaitu ketergantungan. Jika menyalahi kodrat untuk bergantung kepada Allah dengan cara memaksimalkan potensi yang diberikan berupa ilmu, amal, hubungan sesama dan nasehat atau bimbingan dari diatasnya, maka dirinya akan melewati kehidupan dengan “hampa” tanpa makna, dan dengan kelalaiannya dikembalikan dalam kondisi paling buruk dan menyesakkan yaitu api neraka seperti peringatan Allah dalam Surat al-Tiin. Sebaliknya, jika beriman dan beramal shaleh, maka akan dibalas syurga sebagai wujud pahala yang tak terputus.

Fitrah manusia untuk berbeda satu sama lain diatur porsinya oleh Allah bisa saling melengkapi, Yasyuddu Ba’dluhu Ba’dla. Manusia diuji kualitas amalnya tanpa perlu merasa diri lebih baik dari yang lain sebagaimana penyakit yang mungkin dialami orang baik.

Menjadi manusia yang baik dan unggul harus dilakukan dalam batas zona perlombaan;

 فاستبقوا الخيرات. Jika zona ini dipahami, maka tidak ada lagi ketimpangan antara zona amandan nyaman karena zona nyaman (rohah) hanya ada di Surga nanti.

Dalam hal mencari ilmu, maka kualitas ilmu yang dituju adalah keseimbangan antara  pemahaman dan penerapan, jasmaniyah dan rohaniyah disamping kebermanfaatan yang lebih luas.

Agar ilmu apapun memiliki kualitas keseimbangan, maka tidak boleh ada pemisahan dan penyempitan atas nama ilmu fardlu ain dan fardlu kifayah, juga ilmu agama dan sains.

Ibadah yang sangat utama ketika  tidak merasa puas dengan ilmu sebagaimana dicontohkan oleh Imam Ja’far al-Shadiq yang menguasai, mendalami, mengamalkan dan menyebarkannya. Imam Abu Hanifah bercerita bahwa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur memanggilnya dan memberi tahu banyak orang yang berubah pikiran karena kealiman Imam Ja’far Shadiq dan meminta agar mempersiapkan pertanyaan yang berat untuk “memperingatkan” Imam Ja’far al-Shadiq. Akhirnya Abu Hanifah menyiapkan empat puluh pertanyaan. Kedua Imam tersebut dipertemukan oleh Khalifah Abu Ja’far al-Manshur dan akhirnya setiap pertanyaan dijawab oleh Imam Ja’far al-Shadiq; “kalian (penduduk Irak) mengatakan seperti ini, penduduk Madinah mengatakan seperti ini dan Kami mengatakan seperti ini. Bisa jadi meraka mengikuti kami, bisa jadi mengikuti. mereka bisa jadi mereka berbeda dengan kita semua”. Kemudian Abu Hanifah berkata; “Sesungguhnya manusia yang paling alim adalah orang yang paling tahu perbedaan (pendapat) manusia”. Tidak heran jika Imam Ja’far al-Shadiq dikenal bijaksana dan tidak senang berdebat soal agama sebagaimana agama untuk diamalkan bukan diperdebatkan.